Sejarah DPRD Provinsi Jawa Timur

Sejarah DPRD Provinsi Jawa Timur

Provinsi Jawa Timur dibentuk sebagai daerah Swantara berdasarkan Undang-Undang No. 2 tahun 1950, tepatnya tanggal 15 Agustus 1950.

1950

Penyelenggaraan negara menganut sistem demokrasi liberal, dimana Presiden RI hanya sebagai simbol negara dan penyelenggaraan negara dijalankan oleh seorang perdana menteri dengan sejumlah menteri yang umumnya berasal dari koalisi parta-partai besar.

Terbit beberapa peraturan perundangan, diantaranya:

  • UU Nomor 2 tahun 1950 tentang daerah swatantra dan UU Nomor 7 Tahun 1950 tentang DPRD
  • Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 1950 tentang DPRD, yang antara lain mengamanatkan setiap daerah provinsi, kabupaten/Kota Besar/Kota Kecil membentuk kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRDS) selambat-lambatnya sampai Bulan Oktober 1950.

1951

Pembentukan DPRDS Jawa Timur yang sudah matang harus terhenti karena ada mosi dimotori oleh S. Hadikoesoemo mengedepankan alasan PP Pembentukan DPRDS yang hanya menguntungkan partai yang berkuasa.

Untuk mengisi kekosongan DPRDS provinsi/kabupaten/kota besar/kota kecil di seluruh Indonesia dikeluarkan Instruksi Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1950 dengan amanat menugaskan Kepala Daerah/Gubernur Swatantra se-Indonesia menjabat sebagai Ketua DPRDS. Kondisi ini menyebabkan fungsi DPRDS terdistorsi kebijakan kepala daerah sehingga sistem demokratisasi tidak berjalan semestinya.

1955

Kabinet Ali Sastroamijoyo (1953-1955) mengedepankan empat program, diantaranya segera dilaksanakan Pemilu tahun 1955 dengan pertimbangan Pemilu merupakan prasyarat utama berfungsinya sistem pemerintahan yang demokratis.

Pemerintah menetapkan dua kali Pemilu. Pemilu pertama dilaksanakan tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota parlemen dan Pemilu kedua dilaksanakan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota konstituante. Tugas utama konstituante yaitu merumuskan dasar negara yang baru sebagai pengganti UUDS 1950.

Dalam Pemilu 1955 dialokasikan 60 kursi di DPRD Jawa Timur. Setelah perhitungan suara hasil Pemilu 1955 tersebutlah partai-partai politik yang memperoleh kursi masing-masing :

NU : 21 Kursi
PNI : 14 Kursi
PKI : 14 Kursi
Masyumi : 7 Kursi
AKUI : 1 Kursi
Partai Katholik : 1 Kursi
PRI : 2 Kursi
PSI : 1 Kursi

Hasil Pemilu secara otomatis mengubah susunan, kedudukan, dan keseimbangan perwakilan yang kemudian terbentuklah DPRD Jawa Timur dengan ketua R Soebandi

1957

Pelaksanaan Munas (Musyawarah Nasional) tanggal 14 September 1957 di Jakarta.

Munas merekomendasikan penyelenggaraan Munap (Musyawarah Pembangunan) dan DPRD Jawa Timur mengusulkan pembangunan yang memenuhi harapan daerah dan mengatasi kesenjangan pusat daerah. Akan tetapi hasil Munap tak dapat direalisasikan oleh berbagai daerah.

Konstituante gagal merumuskan dasar negara karena tarik ulur kepentingan. Sekelompok partai menghendaki Pancasila menjadi dasar negara, sebaliknya partai lainnya menghendaki Agama Islam sebagai dasar negara.

1959

Kegagalan konstituante yang mengakibatkan krisis politik mendorong Presiden Soekarno untuk memutuskan Republik Indonesia kembali ke UUD 1945 lewat dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pokok inti dekrit Presiden yaitu pembubaran Konstituante, berlakunya kembali UUD 1945, tidak berlakunya UUDS 1950, pembentukkan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Presiden Soekarno membubarkan DPR/DPRD hasil pemilu 1955.

1960

Pemerintah menerbitkan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960, dengan amanat wakil-wakil rakyat terdiri atas wakil-wakil golongan politik dan golongan karya dengan nama DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Deskripsi golongan politik terdiri atas partai-partai yaitu Nasionalis, Islam, Kristen, dan Komunis. Sedang golongan karya yaitu angkatan bersenjata, kerohanian, dan pembangunan spiritual.

Pimpinan DPRDGR Jawa Timur kembali diketuai Gubernur Jawa Timur yaitu R. Soewondo Ranoewidjojo.

Tercatat Gubernur Jawa Timur yang merangkap Ketua DPRDS masing-masing R Samadikoen (1949-1957), R.T.A Milono (1957-1959). Sedang gubernur Jawa Timur yang merangkap sebagai Ketua DPRD-GR masing-masing R Soewondo Ranoewidjojo (1959-1963) dan Moch Wiyono (1963 – 1967).

1965

Terbit UU Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Yang fundamental dalam Undang-undang Pemerintahan di Daerah adalah pemisahan jabatan Gubernur/Kepala Daerah dengan jabatan Ketua DPRD-GR, dan tidak ada larangan bagi kepala daerah duduk sebagai anggota partai politik, serta kepala daerah tidak diperankan sebagai sesepuh daerah provinsi/kabupaten/kota.

Era baru DPRD-GR Jawa Timur sebenarnya dimulai tahun 1965 dengan kejelasan susunan, kedudukan, khususnya dari jumlah kursi, fraksi-fraksi, dan alat kelengkapannya. Berdasarkan jumlah penduduk Jawa Timur kala itu ditetapkan 76 kursi DPRD-GR atau lebih banyak 16 kursi dari hasil Pemilu 1955 yang berasal dari dari NU, Masyumi, IKPI, ABRI, Parmusi, Katholik, PSII, Kerohanian, Partindo, Material, Spiritual, dan Perti.

1971

Pemilu tahun 1971 mengesahkan Kolonel Moch Said sebagai ketua DPRD Jawa Timur.

Pemerintah melakukan penyederhanaan partai politik peserta Pemilu yaitu menetapkan tiga partai peserta Pemilu yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

1974

Terbit Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah yang menggantikan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.

Esensi dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah kepastian hukum bahwa kepala daerah terpisah dari ketua DPRD tetapi keduanya adalah penyelenggara pemerintahan di daerah.

Gubernur diberi peran sebagai administrator pembangunan, penguasa tunggal di daerah, di samping sebagai Ketua Musyawarah Pimpinan Daerah.

1977

Pada Pemilu 1977 jumlah kursi di DPRD Jawa Timur bertambah menjadi 80 dan pada Pemilu 1982 kursi DPRD menjadi 100 berdasarkan perhitungan jumlah penduduk.

1977

Pada Pemilu 1997 ambisi Golkar memenangkan Pemilu menjadi kenyataan sehingga sebagian besar kursi DPRD Jatim berasal dari Fraksi Karya Pembangunan (Golkar), menyusul PPP dan PDI. Dalam sidang paripurna DPRD Jawa Timur 1993 Trimarjono SH terpilih sebagai Ketua DPRD Jawa Timur.

1987

Hasil Pemilu 1987 menempatkan Ny Asri Soebarjati Soenardi sebagai Ketua DPRD Jawa Timur.

1998

Pemilu tahun 1998 sebagai upaya keluar dari krisis multidimensional dengan menem-patkan pemimpin yang dipercaya oleh rakyat. Diikuti 54 partai politik, sebanyak 21 partai politik meraih suara untuk mendudukan 100 kursi di DPRD Jawa Timur.

1999

ada tanggal 7 Juni 1999 lima paket UU dicabut oleh Presiden BJ Habibie. Sebagai penggantinya DPR menelorkan UU Partai Politik, UU Pemilihan Umum, dan UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Sidang MPR-pun digelar dan menghasilkan sejumlah TAP MPR, di antaranya tentang otonomi daerah dan penyelenggaraan Pemilu yang dipercepat.

Perkembangan reformasi semakin cepat yang pada gilirannya posisi wakil rakyat baik di DPR dan DPRD Provinsi berada pada titik keseimbangannya ketika berlaku UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, dimana kepala daerah bertanggungjawab kepada DPRD.

2004

Dalam perjalanannya UU Nomor 22 Tahun 1999 diubah menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004. Yang esensial dari UU Nomor 32 Tahun 2004 kepala daerah tidak bertanggung-jawab kepada DPRD karena kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui pemili-han umum kepala daerah dan wakil kepala daerah.

2009

Terbitnya UU Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susduk MPR/DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten dan Kota memperkuat posisi tawar DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintah di daerah. Apalagi UU Nomor 22 Tahun 2003 diubah dengan UU Nomor 27 Tahun 2009 semakin mengefektifkan DPRD termasuk DPRD Jawa Timur sebagai legislator.

Formasi Anggota DPRD Jawa Timur masa bakti 2009-2014 terbentuk berdasarkan Pemilihan Legislatif yang diselenggarakan pada 9 April 2009.

Dari 38 Partai Peserta Pileg 2009, 12 Partai berhasil memperoleh kursi di DPRD Jawa Timur. Perolehan kursi terbanyak diraih Partai Demokrat dengan 22 kursi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 17 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa 13 kursi, Partai Golkar 11 Kursi, Partai Gerindra 8 Kursi, Partai Amanat Nasional 7 kursi, Partai Keadilan Sejahtera7 kursi, Partai Kebangkitan Nasional Ulama 5 kursi, Partai Hanura Damai 5 kursi dan Partai persatuan Pembangunan 4 kursi Partai Bintang Reformasi, Partai Damai Sejahtera satu kursi.

2014

Hasil Pemilihan Umum Legislatif untuk Provinsi Jawa Timur menempatkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menempati urutan pertama dengan meraih 3.671.911 suara atau 19,6 persen.

Dengan perolehan tersebut maka berdampak pula pada kursi yang diraih masing-masing partai politik di DPRD Jawa Timur. PKB meraih 20 kursi, PDI Perjuangan dengan 19 kursi, Partai Gerindra 13 kursi, Partai Demokrat 13 kursi dan Partai Golkar 11 kursi. Khusus untuk PKS, meski hanya meraih 5,2% tapi kursi yang didapat partai menengah ini mencapai 6 kursi alias satu fraksi lebih.

Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur periode 2009-2014 Imam Sunardhi.

2019

Hasil pemilihan legislatif tahun 2019 menempatkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai urutan pertama dengan mendapatkan 4.319.666 suara atau 19,57 %.

PDIP mendapatkan 27 kursi, PKB mendapatkan 25 kursi, GERINDRA mendapatkan 15 kursi, GOLKAR mendapatkan 13 kursi, NASDEM mendapatkan 9 kursi, Demokrat mendapatkan 14 kursi, PAN mendapatkan 6 kursi, PPP mendapatkan 5 kursi, PKS mendapatkan 4 kursi, HANURA mendapatkan 1 kursi dan PBB mendapatkan 1 kursi.