Berita
Komisi B

Perubahan Badan Hukum BPR Jadi PT Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Perubahan Badan Hukum BPR Jadi PT Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Adi Suprayitno Jumat, 11 Desember 2020
Perubahan badan hukum Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menjadi Perseroan Terbatas (PT) berorientasi untuk membantu, mendorong pertumbuhan perekonomian dan pembangunan di segala bidang.
 
Juru bicara Fraksi Gerindra DPRD Jatim, Noer Soetjipto mengatakan, BPR menjadi salah satu sumber PAD dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat melalui peningkatan pendapatan dan melindungi masyarakat dari segala bentuk manipulasi terutama kejahatan di bidang finansial. 
 
Fraksi Gerindra menilai keputusan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur  untuk memilih Bentuk Badan Hukum Badan Usaha Milik Daerah dari Perusahan Daerah (PD) menjadi PT membawa konsekuensi tersendiri terhadap semua aset–asetnya karena harus beralih dan dikonversikan menjadi atas nama PT.
 
"Dengan dibentuknya PT Bank Perkreditan Rakyat Jawa Timur, maka pengelolaan Perseroan Terbatas harus tunduk pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 yang mengatur tentang Perseroan Terbatas. Setiap pendirian badan usaha yang berbentuk badan hukum PT harus didasarkan kepada karakteristik yang diatur dalam UU PT," tuturnya.
 
Noer menjelaskan, perseroan yang didirikan termasuk perseroan yang didirikan Pemerintah Provinsi Jawa Timur harus sesuai dengan karakteristik yang diatur dalam UU PT. 
 
"Persoalannya, jika suatu saat ada persoalan siapa yang berhak menyelesaikan tanggung gugat karena statusnya sudah berubah dari PD ke PT," tanyanya.
 
Anggota Komisi B DPRD Jatim itu menilai BUMD telah mencapai tujuan awal sebagai agen pembangunan, pelayanan umum, dan pendorong terciptanya badan usaha di daerah. Tetapi tujuan tersebut lazimnya dicapai dengan biaya yang relatif tinggi. Peraturan perundang–undangan yang mengatur mengenai BUMD dan masih berlaku hingga saat ini adalah Undang–undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Undang–undang ini telah dicabut dengan Undang–undang Nomor 6 Tahun 1969, terhitung mulai tanggal ditetapkan Undang–undang baru. 
 
"Dalam rangka pengembangan usaha, pada prinsipnya BUMD dapat dikatakan menganut bisnis birokrasi di mana kebijakan pengembangan sangat ditentukan oleh Pemerintah Daerah sebagai pihak yang mewakili daerah, sebagai pemilik modal BUMD meskipun badan hukumnya pun berubah dari PD ke PT," tuturnya. 
 
Noer menjelaskan, ketika Undang–undang Nomor 4 Tahun 1962 diimplementasikan, direksi dan mayoritas pegawai BUMD merupakan bagian yang tak terpisahkan dari birokrasi Pemerintah Daerah. Dengan begitu, pengelolaan BUMD dalam praktiknya mirip dengan pengelolaan lembaga birokrasi. Hal ini berakibat dalam banyak kasus, manajemen BUMD kurang memiliki independensi dan fleksibilitas untuk melakukan inovasi usaha guna mencapai tujuan organisasinya. 
 
"Kajian lebih mendalam menunjukkan bahwa budaya organisasi birokrasi ternyata juga berbeda dengan budaya organisasi bisnis. Banyaknya intervensi birokrasi terhadap pengelolaan BUMD acapkali juga menimbulkan kesulitan bagi manajemen BUMD dalam mengelola usahanya secara profesional," katanya.