Berita
Wakil Ketua Komisi B DPRD Jatim Amar Syaifudin.
Komisi B

DPRD Jatim Ungkap Penyebab Susahnya Mendapat Beras di Jatim

Produksi beras Jatim pada 2022 disebut mengalami surplus hingga 3,1 juta ton. Namun, kondisi ini ternyata tidak sebanding dengan ketersediaan beras di lapangan. Bahkan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, menyatakan ada kondisi yang cukup sulit untuk mendapatkan beras.

Lutfiyu Handi Jumat, 24 Februari 2023

SURABAYA – Produksi beras Jatim pada 2022 disebut mengalami surplus hingga 3,1 juta ton. Namun, kondisi ini ternyata tidak sebanding dengan ketersediaan beras di lapangan. Bahkan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, menyatakan ada kondisi yang cukup sulit untuk mendapatkan beras.

Kelangkaan beras di tengah surplus beras di Jatim sebanyak 3,1 ton tersebut menarik perhatian anggota DPRD Jatim. Wakil Ketua Komisi B DPRD Jatim, Amar Syaifudin. Dia mengaku selama ini sudah memantau pergerakan pedagangan beras di Jatim khususnya di Lamongan. Terlebih lagi, Lamongan menjadi salah satu lumbung beras di Jatim dengan tingkat produksi terbanyak kedua setelah Ngawi.

Amar yang merupakan politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini menandaskan bahwa gabah dari para petani banyak yang dibeli oleh para tengkulak. Hal ini bentuk dari ketidak berdayaan pemerintah dalam hal ini Bulog untuk melakukan penyerapan gabah petani.

Sayangnya, beras hasil dari penyerapan gabah para petani langsung dibawa keluar Jatim oleh para tengkulak. “terus beras dan gabah banyak dibawa ke Jawa Tengah,” kata Amar.

Ternyata kondisi ini juga tidak terjadi di Lamongan saja, Ngawi yang langsung berbetasan dengan Jawa Tengah juga mengakibatkan mobiltas beras banyak ke Jawa Tengah. Dengan kondisi ini, meski secara angka jumlah produksi beras di Jatim mengalami surplus, namun secara stok barang ternyata tidak ada karena sudah dibawa keluar daerah.

“Sebenarnya pengawasan dari Satgas pangan kurang optimal, tapi sering kali kami menekankan itu, tapi satgasnya masih gak optimal. Sering kali kita rapat dengan Dinas Pertanian, Disperindag, tapi tidak ada eksekusi, termasuk pengawasan,” tegasnya.

Dia juga menandaskan bahwa dalam hal penyerapan gabah petani Bulog memang kalah dibandingan dengan para tengkulak. Pasalnya, untuk melakukan penyerapan atau pembelian gabah dari petani, Bulog harus menunggu instruksi dari pemerintah terlebih dulu. Tak hanya itu, sering kali Bulog juga tidak memiliki anggaran untuk melakukan penyerapan, bahkan harus utang bank terlebih dulu.

Disinggung tentang berkurangnya produktifitas beras di Kabupaten Lamongan, Amar menandaskan bahwa hal itu karena banjir Bengawan Jero yang berbulan bulan. Sehingga para petani tidak bisa tanam. “Itu salah satunya dan bebrapa area pertanian kita juga berkurang karena hadirnya perusahaan realestate dan beberapa lahan sudah beralih jadi perumahan,” terangnya.